Universitas
Gunadarma
Fakultas
Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
PERAN AGAMA DALAM MEMBANGUN BUDAYA LOKAL
Nama : Aditya Nugroho
NPM :10113245
Kelas : 1KA08
Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi
Universitas Gunadarma
2014
2014
PENDAHULUAN
Mata kuliah Ilmu Budaya Dasar adalah salah satu mata kuliahyang menbicarakan tentang nilai-nilani, tentang kebudayaan, tentang berbagai macam masalah yang dihadapi manusia dalam hidup sehari-hari.
Mata kuliah ini di harapkan agar lulusan perguruan tinggi kita dari semua jurusan dapat mepunyai suatu kesamaan bahan pembicaraan. Adanya kesamaan ini dapat di harapkan, agar interelasi antara intelektuil kita leih sering dengan akibat yang positif bagi pembangunan Negara kita pada umumnya dan perbaikan pendidikan.
Diharapkan agar mata kuliah ini dapat menjadi semacam “lingua franca” bagi para akademis dari berbagai lapangan ilmiah. Dengan memiliki suatu bekal yang sama ini diharapkan agar para akademis apat lebih lancer berkomunikasi. Kelancaran berkomunikasiini selanjutnya akan memperlancar pula pelaksanaan pembangunan dalam berbagai bidang yang di tangani oleh para cendikiawan dari berbagai lapangan keahlian itu. Dengan itu pula mahasiswa diharapkan nantinya memiliki latar belakang pengetahuan yang cukup luas tentang kebudayaan Indonesia pada umumnya dan menimbulkan minat mendalaminya lebih lanjut, agar dengan demikian mahasiswa di harapkan turut mendukung dan mengembangkan kebudayaan sendiri dengan kreatif. Latar belakang diberikanya mata kuliah IBD, selain melihat konteks budaya Indonesia, juga sesuai dengan program pendidikan d pergururan tinggi, dalam rangka menyempurnakan pembentukan sarjana.
PERAN AGAMA DALAM MEMBANGUN BUDAYA LOKAL
Agama Islam membiarkan kearifan lokal dan produk-produk
kebudayaan lokal yang produktif dan tidak mengotori aqidah untuk tetap eksis.
Jika memang terjadi perbedaan yang mendasar, agama sebagai sebuah naratif yang
lebih besar bisa secara pelan-pelan menyelinap masuk ke dalam “dunia lokal”
yang unik tersebut. Mungkin untuk sementara akan terjadi proses sinkretik,
tetapi gejala semacam itu sangat wajar, dan in the long run, seiring dengan
perkembangan akal dan kecerdasan para pemeluk agama, gejala semacam itu akan
hilang dengan sendirinya.
Para ulama salaf di Indonesia rata-rata bersikap akomodatif.
Mereka tidak serta merta membabat habis tradisi. Tidak semua tradisi setempat
berlawanan dengan aqidah dan kontra produktif. Banyak tradisi yang produktif
dan dapat digunakan untuk menegakkan syiar Islam. Lihat saja tradisi berlebaran
di Indonesia. Siapa yang menyangkal tradisi itu tidak menegakkan syiar Islam?
Disamping Ramadan, tradisi berlebaran adalah saat yang ditunggu-tunggu. Lebaran
menjadi momentum yang mulia dan mengharukan untuk sebuah kegiatan yang bernama
silaturrahim. Apalagi dalam era globalisasi dimana orang makin mementingkan
diri sendiri. Dalam masyarakat Minangkabau misalnya, tradisi telah menyatu
dengan nilai Islam. Lihat kearifan lokal mereka: Adat basandi syarak, syarak
basandi kitabullah “adat bersendikan hukum Islam, hukun Islam bersendikan
Al Quran.” Dalam tradisi lisan Madura juga dikenal abantal omba’, asapo’
iman yang bermakna bekerja keras dan senantiasa bertakwa.
Islam tidak pernah membeda-bedakan budaya rendah dan budaya
tinggi, budaya kraton dan budaya akar rumput yang dibedakan adalah tingkat
ketakwaannya. Disamping perlu terus menerus memahami Al Quran dan Hadist secara
benar, perlu kiranya umat Islam merintis cross cultural understanding
(pemahaman lintas budaya) agar kita dapat lebih memahami budaya bangsa lain.
Meluasnya Islam ke seluruh dunia tentu juga melintas aneka
ragam budaya lokal. Islam menjadi tidak “satu”, tetapi muncul dengan wajah yang
berbeda-beda. Hal ini tidak menjadi masalah asalkan substansinya tidak
bergeser. Artinya, rukun iman dan rukun Islam adalah sesuatu yang yang tidak
bisa di tawar lagi. Bentuk masjid kita tidak harus seperti masjid-masjid di
Arab. Atribut-atribut yang kita kenakan tidak harus seperti atribut-atribut
yang dikenakan bangsa Arab. Festival-festival tradisional yang kita miliki
dapat diselenggarakan dengan menggunakan acuan Islam sehingga terjadi perpaduan
yang cantik antara warna Arab dan warna lokal. Lihat saja, misalnya, perayaan
Sekaten di Yogyakarta, Festival Wali Sangan, atau perayaan 1 Muharram di banyak
tempat.
Dalam benak sebagian besar orang, agama adalah produk langit
dan budaya adalah produk bumi. Agama dengan tegas mengatur hubungan manusia
dengan Tuhan dan manusia dengan manusia. Sementara budaya memberi ruang gerak
yang longgar, bahkan bebas nilai, kepada manusia untuk senantiasa mengembangkan
cipta, rasa, karsa dan karyanya. Tetapi baik agama maupun budaya difahami
(secara umum) memiliki fungsi yang serupa, yakni untuk memanusiakan manusia dan
membangun masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan.
PENUTUP
Ketika agama dilihat dengan kacamata agama maka agama
akan memerlukan kebudayaan. Maksudnya agama (islam) telah mengatur segala
masalah dari yang paling kecil contohnya buang hajat hingga masalah yang ruwet
yaitu pembagian harta waris dll. Sehingga disini diperlukan sebuah kebudayaan
agar agama (islam) akan tercemin dengan kebiasaan masyarakat yang mencerminkan
masyarakat yang beragama, berkeinginan kuat untuk maju dan mempunyai keyakinan
yang sakral yang membedakan dengan masyarakat lainnya yang tidak menjadikan
agama untuk dibiasakan dalam setiap kegiatan sehari-hari atau diamalkan
sehingga akan menjadi akhlak yang baik dan menjadi kebudayaan masyarakat
tersebut.
http://mambaulhikaminduk.blogspot.com/2012/03/peran-agama-dalam-perkembangan-budaya.html 30/3/2014 21:00
Aditya nugroho/10113245/1KA08
Aditya nugroho/10113245/1KA08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar